Tuesday, March 14, 2017

Makalah Warisan



BAB I
PENDAHULUAN

Rasulullah SAW memerintahkan agar bahagian faraidh / penentuan warisan itu diberikan kepada setiap ahli waris yang berhak dan jika terdapat sisa dari pembagian tersebut maka diserahkan kepada laki-laki yang paling dekat dengan si mayit.
Salah satu penyebab seseorang itu saling mewarisi kepada keturunan dan keluarganya dalam Islam adalah karena pernikahan yang sah sesuai syari’at Islam, kemudian bagaimana halnya jika keturunan tersebut diperoleh diluar akad yang sah menurut syar’at Islam.anak zina.

Anak dalam kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya dengan syarat:
-    Sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang mewariskan) meninggal
-        Dilahirkan dalam keadaan hidup
Karena anak dalam kandungan belum bisa langsung ditentukan jenis kelaminnya, maka besar bagian warisan yang akan diberikan kepadanya ada dua kemungkinan, yaitu berdasarkan anggapan apakah jenis kelaminnya nanti pada saat dilahirkan laki-laki atau perempuan. Menurut pendapat jumhur ulama, bagian untuk anak dalam kandungan yang harus ditahan/disimpan dari harta warisan (untuk kemudian diberikan kepadanya setelah mampu memegang harta) adalah bagian yang terbesar di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
Dalam kajian fikih Islam, penentuan status orang hilang atau mafqud, apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat, kian penting karena menyangkut banyak aspek, salah satunya adalah dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah.
Imam An Nawawi dalam Al Muhadzab menjelaskan bahwa Khuntsa itu ada 2 (dua) macam, yaitu orang yang baginya (2) dua alat kelamin (kelamin lelaki dan kelamin perempuan) dan orang yang tidak mempunyai alat seperti diatas tetapi baginya lubang (serupa vagina/farji) yang dari lubang itulah keluar sesuatu yang keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      ANAK ZINA
Anak zina adalah Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita.[1]

a.      Hak Waris Anak Zina
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah.[2]

2.      BAYI DALAM KANDUNGAN
Islam mempunyai hukum yang sangat adil, yang tentunya adalah hukum dari Allah SWT. Anak yang masih dalam kandungan ibunya juga menjadi pertimbangan para ulama mengenai bagian warisan bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut.

Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu :
a.       Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya pada waktu muwarisnya meninggal dunia.
b.      Bayi itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang hiduplah yang mempunyai keahlian memiliki pusaka. Adapun ciri keadaan hidupnya adalah ketika bayi itu dilahirkan dari perut ibunya dicirikan dari adanya jeritan (tangisan) atau gerakan, atau menetek pada payudara ibunya serta ditandai dengan tanda-tanda kehidupan lainnya.
Dalam pembagian masalah ini, kita harus membagi harta pusaka secara bertahap, yaitu sebelum bayi lahir diadakan pembagian sementara, sedangkan pembagian sebenarnya ditangguhkan sampai bayi dilahirkan.
3.      ORANG MAFQUD (ORANG HILANG)
Al Mafqud adalah orang yang tidak diketahui kabar beritanya, karena telah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia.[3] Konteknya dengan kejadian, tragedi atau musibah yang menimpa bangsa Indonesia mengakibatkan seseorang menjadi hilang. Contohnya: seorang nelayan yang berlayar untuk mencari ikan. Rekan-rekannya tidak mengetahui lagi keberadaannya, karena dia menghilang telah cukup lama.

Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang, diantaranya adalah:
-          Istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan
-          Hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum telah mati, dan qadhi (hakim) pun telah menetapkannya sebagai orang yang dianggap telah mati.

Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."

a.      Batas Waktu Menentukan Seseorang Itu sudah Hilang
            Caranya adalah dengan memperhatikan teman-teman seumur/segenerasi dengan mafqud bersangkutan. Apabila teman-teman seumur/segenarasi mafqud itu tidak ada lagi yang hidup, maka hakim boleh menetapkan bahwa mafqud dimaksud telah wafat.

            Bila harta mafqud telah dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata bahwa mafqud bersangkutan masih hidup dan kembali ke daerahnya, maka harta yang sudah dibagikan tersebut, sekiranya masih ada yang tersisa ditangan ahli waris yang telah menerimanya, dikembalikan oleh ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Jika harta itu telah habis, maka mafqud tidak dapat menuntut ahli waris yang menerima warisan tersebut unutk mengembalikannya.
Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah megatakan bahwa hakim memutuskan mafqud ` telah wafat dalam keadaan:
[4]
-          Yang bersangkutan hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa ia sebagai telah binasa, seperti karena ada serangan mendadak atau dalam keadaan perang.
-          Yang bersangkutan pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak pernah kembali.
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).

Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny (dalam wikipedia, 2009) mengatakan:
-          Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang yang seusia dengan dia di daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini waktunya sekitar 90 tahun.
-          Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.
-          Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya.
-          Ulama Hanabilah dalam hal ini ada dua pendapat: Ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya bagi seseorang untuk dapat bertahan hidup; diserahkan pada petimbangan hakim.

4.      BANCI (KHUNTSA)
Khuntsa menurut kamus Al Munawir berasal dari kata خنٍث – خنثاًً yang berarti lemah, lunak, atau bertingkah laku seperti perempuan.
Khuntsa  menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang yang baginya alat kelamin lelaki (dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya”

Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, bahwa dalam Islam dikenal ada 2 jenis khuntsa, yaitu Khuntsa Al-Musykil dan Khuntsa Ghairu Musykil.

Untuk pembagian waris Khuntsa Ghairu Musykil tidak perlu dipusingkan karena Khuntsa Ghairu Musykil sudah dengan mudah diketahui unsur laki-laki atau perempuan di dalam dirinya.
Lalu yang menjadi masalah adalah mengenai pembagian waris untuk Khuntsa Al-Musykil yaitu khuntsa yang tidak dapat diketahui mana yang lebih kuat antara unsur laki-laki atau perempuannya. Atau bahkan khuntsa yang tidak mempunyai jenis kelamin sama sekali. Hal ini tentu akan sangat membingungkan. Sehingga dalam hal ini, perlu adanya aturan mengenai pewarisan untuk mereka.
Terdapat ketentuan untuk Khuntsa Al-Musyki dalam Hadist: “Untuk mengetahui mana unsur yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, dapat dilihat dari jalan mana seorang Khuntsa tersebut buang air kecil.”
Kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang air kecil. Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita.

Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai Khuntsa Al-Munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh. Sehingga dalam Islam dikenal ketentuan ulama-ulama untuk menentukan pembagian waris khuntsa sebagai berikut:
a)         Mahzab Fuqaha Hanafi dan Syafi’i
Ahli waris Khuntsa Al-Munsykil memperoleh bagian yang lebih sedikit dari dua bagian dengan diperkirakan laki-laki atau diperkirakan perempuan. Kebanyakan sahabat Rasulullah SAW juga berpendapat demikian.
b)        Mahzab Maliki
Ahli waris Khuntsa memperoleh bagian rata-rata dari dua macam bagiannya sebagai waris laki-laki atau perempuan. Maka diadakan pembagian dua kali. Pertama diperkirakan laki-laki dan kedua diperkirakan perempuan. Kemudian hasilnya dijumlah dan dibagi dua. Hasil pembagian itulah yang menjadi hak waris khuntsa.

Menurut Ibnu Mundzir, bahwa penetapan kewarisan orang banci menurut cara / jalan kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijmak para fuqaha dan juga faradliyun. Hal ini sebagaimana pendapat Ali R.A yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Muhadzzab:
عن علي كرم الله وجهه أنه قال : يورث الخنثى من حيث يبول
"Diriwayatkan dari Ali bahwa ia berkata: kewarisan Khuntsa berdasarkan bagaimana ia kencing"









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan Anak Zina
Dari pemaparan singkat di atas, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni mengenai nasab dari anak hasil perbuatan zina tersebut yang ia dinasabkan langsung kepada ibunya jika si wanita yang melakukan zina tersebut tidak memiliki suami atau dalam masa ‘iddah, sedangkan jika wanita tersebut memiliki suami atau dalam masa ‘iddah maka secara otomatis anak tersebut menjadi nasab dari suami ibunya.
Kesimpulan Bayi Dalam Kandungan
Anak dalam kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya dengan syarat:
-          Sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang mewariskan) meninggal
-          Dilahirkan dalam keadaan hidup dan bisa menetek atau bisa dipastikan dia hidup sempurna.
Orang Mafqud (Orang Hilang)
Mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah`wafat.
Banci (Khuntsa)
Khuntsa menurut kamus Al Munawir berasal dari kata خنٍث – خنثاًً yang berarti lemah, lunak, atau bertingkah laku seperti perempuan.
Khuntsa  menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang yang baginya alat kelamin lelaki (dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya” Bahwa dalam Islam dikenal ada 2 jenis khuntsa, yaitu Khuntsa Al-Musykil dan Khuntsa Ghairu Musykil.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,
Jakarta, 2008, hlm. 80

Karani, Pasnelyza. 2010. Tesis dengan judul “Status Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro.Semarang : Undip Press.

Ash-Shabuni, Ali, Muhammad. 2009. Hak Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam, Dan Tertimbun .Http:// www. wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.

Manaf, Abdul. 2009. Yurisdiksi Peradilan Agama dalam Kewarisan Mafqud. Http:// www. wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.

Imam Nawawi, Al Muhadzzab, juz 2 hal 414 (Maktabah Syamilah)






[1]  Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,
Jakarta, 2008, hlm. 80

2 Karani, Pasnelyza. 2010. Tesis dengan judul “Status Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro.Semarang : Undip Press.


[3] Ash-Shabuni, Ali, Muhammad. 2009. Hak Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam, Dan Tertimbun .Http:// www. wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.

[4] Manaf, Abdul. 2009. Yurisdiksi Peradilan Agama dalam Kewarisan Mafqud. Http:// www. wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.

No comments:

Post a Comment