BAB I
PENDAHULUAN
Rasulullah SAW memerintahkan agar
bahagian faraidh / penentuan warisan itu diberikan kepada setiap ahli
waris yang berhak dan jika terdapat sisa dari pembagian tersebut maka
diserahkan kepada laki-laki yang paling dekat dengan si mayit.
Salah
satu penyebab seseorang itu saling mewarisi kepada keturunan dan keluarganya
dalam Islam adalah karena pernikahan yang sah sesuai syari’at Islam, kemudian
bagaimana halnya jika keturunan tersebut diperoleh diluar akad yang sah menurut
syar’at Islam.anak zina.
Anak dalam
kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya dengan syarat:
- Sudah
berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang mewariskan)
meninggal
- Dilahirkan
dalam keadaan hidup
Karena anak
dalam kandungan belum bisa langsung ditentukan jenis kelaminnya, maka besar
bagian warisan yang akan diberikan kepadanya ada dua kemungkinan, yaitu
berdasarkan anggapan apakah jenis kelaminnya nanti pada saat dilahirkan
laki-laki atau perempuan. Menurut pendapat jumhur ulama, bagian untuk anak
dalam kandungan yang harus ditahan/disimpan dari harta warisan (untuk kemudian
diberikan kepadanya setelah mampu memegang harta) adalah bagian yang terbesar
di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
Dalam kajian fikih Islam, penentuan
status orang hilang atau mafqud, apakah yang bersangkutan masih hidup atau
sudah wafat, kian penting karena menyangkut banyak aspek, salah satunya adalah
dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian
sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah.
Imam An Nawawi dalam Al Muhadzab menjelaskan bahwa Khuntsa
itu ada 2 (dua) macam, yaitu orang yang baginya (2) dua alat kelamin (kelamin
lelaki dan kelamin perempuan) dan orang yang tidak mempunyai alat seperti
diatas tetapi baginya lubang (serupa vagina/farji) yang dari lubang itulah
keluar sesuatu yang keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain
sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. ANAK ZINA
Anak zina adalah Anak yang lahir
karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah
yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara
laki-laki dan wanita.[1]
a.
Hak Waris Anak Zina
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika
seorang anak yang lahir karena perbuatan zina wafat
meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan
1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2
sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah.[2]
2. BAYI
DALAM KANDUNGAN
Islam mempunyai hukum yang sangat
adil, yang tentunya adalah hukum dari Allah SWT. Anak yang masih dalam
kandungan ibunya juga menjadi pertimbangan para ulama mengenai bagian warisan
bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut.
Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu :
Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu :
a.
Dapat
diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya pada waktu muwarisnya
meninggal dunia.
b.
Bayi itu
harus dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang hiduplah yang
mempunyai keahlian memiliki pusaka. Adapun ciri keadaan hidupnya adalah ketika
bayi itu dilahirkan dari perut ibunya dicirikan dari adanya jeritan (tangisan)
atau gerakan, atau menetek pada payudara ibunya serta ditandai dengan
tanda-tanda kehidupan lainnya.
Dalam
pembagian masalah ini, kita harus membagi harta pusaka secara bertahap, yaitu
sebelum bayi lahir diadakan pembagian sementara, sedangkan pembagian sebenarnya
ditangguhkan sampai bayi dilahirkan.
3.
ORANG MAFQUD
(ORANG HILANG)
Al Mafqud adalah orang yang tidak diketahui kabar beritanya,
karena telah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan
tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia.[3] Konteknya dengan kejadian,
tragedi atau musibah yang menimpa bangsa Indonesia mengakibatkan seseorang
menjadi hilang. Contohnya: seorang nelayan yang berlayar untuk mencari ikan.
Rekan-rekannya tidak mengetahui lagi keberadaannya, karena dia menghilang telah
cukup lama.
Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan
dengan orang yang hilang, diantaranya adalah:
-
Istrinya tidak boleh
dinikahi/dinikahkan
-
Hartanya tidak boleh diwariskan, dan
hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya
apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu
dan diperkirakan secara umum telah mati, dan qadhi (hakim) pun telah
menetapkannya sebagai orang yang dianggap telah mati.
Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."
a. Batas
Waktu Menentukan Seseorang Itu sudah Hilang
Caranya adalah dengan memperhatikan
teman-teman seumur/segenerasi dengan mafqud bersangkutan. Apabila teman-teman
seumur/segenarasi mafqud itu tidak ada lagi yang hidup, maka hakim boleh
menetapkan bahwa mafqud dimaksud telah wafat.
Bila harta mafqud telah dibagikan kepada
ahli warisnya, kemudian ternyata bahwa mafqud bersangkutan masih hidup dan
kembali ke daerahnya, maka harta yang sudah dibagikan tersebut, sekiranya masih
ada yang tersisa ditangan ahli waris yang telah menerimanya, dikembalikan oleh
ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Jika harta itu telah habis, maka
mafqud tidak dapat menuntut ahli waris yang menerima warisan tersebut unutk
mengembalikannya.
Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah megatakan bahwa hakim memutuskan mafqud ` telah wafat dalam keadaan:[4]
Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah megatakan bahwa hakim memutuskan mafqud ` telah wafat dalam keadaan:[4]
-
Yang bersangkutan hilang dalam
situasi yang patut dianggap bahwa ia sebagai telah binasa, seperti karena ada
serangan mendadak atau dalam keadaan perang.
-
Yang bersangkutan pergi untuk suatu
keperluan, tetapi tidak pernah kembali.
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny (dalam wikipedia, 2009) mengatakan:
-
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang yang seusia dengan dia di
daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini
waktunya sekitar 90 tahun.
-
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan
bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.
-
Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode
dengan dia di daerahnya.
-
Ulama Hanabilah dalam hal ini ada
dua pendapat: Ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena
biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya bagi seseorang untuk dapat
bertahan hidup; diserahkan pada petimbangan hakim.
4.
BANCI (KHUNTSA)
Khuntsa
menurut kamus Al Munawir berasal dari kata خنٍث – خنثاًً yang berarti lemah,
lunak, atau bertingkah laku seperti perempuan.
Khuntsa
menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang
yang baginya alat kelamin lelaki (dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita
(farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya”
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, bahwa dalam Islam dikenal ada 2 jenis khuntsa, yaitu Khuntsa Al-Musykil dan Khuntsa Ghairu Musykil.
Untuk pembagian waris Khuntsa Ghairu
Musykil tidak perlu dipusingkan karena Khuntsa Ghairu Musykil sudah dengan
mudah diketahui unsur laki-laki atau perempuan di dalam dirinya.
Lalu yang menjadi masalah adalah
mengenai pembagian waris untuk Khuntsa Al-Musykil yaitu khuntsa yang tidak
dapat diketahui mana yang lebih kuat antara unsur laki-laki atau perempuannya. Atau bahkan khuntsa yang tidak mempunyai jenis kelamin sama sekali. Hal ini
tentu akan sangat membingungkan. Sehingga dalam hal ini, perlu adanya
aturan mengenai pewarisan untuk mereka.
Terdapat ketentuan untuk Khuntsa Al-Musyki dalam
Hadist: “Untuk mengetahui mana unsur yang lebih kuat antara
laki-laki dan perempuan, dapat dilihat dari jalan mana seorang Khuntsa tersebut
buang air kecil.”
Kendatipun
dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan
mencari tahu dari mana ia membuang air kecil. Bila urinenya keluar dari penis,
maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum
laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai
wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita.
Namun, bila ia mengeluarkan urine
dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah
yang dinyatakan sebagai Khuntsa Al-Munsykil.
Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh. Sehingga dalam Islam dikenal ketentuan ulama-ulama untuk menentukan
pembagian waris khuntsa sebagai berikut:
a)
Mahzab Fuqaha Hanafi dan Syafi’i
Ahli waris Khuntsa Al-Munsykil memperoleh bagian yang lebih sedikit dari dua bagian dengan diperkirakan
laki-laki atau diperkirakan perempuan. Kebanyakan sahabat Rasulullah SAW juga
berpendapat demikian.
b) Mahzab Maliki
Ahli waris Khuntsa memperoleh
bagian rata-rata dari dua macam bagiannya sebagai waris laki-laki atau perempuan. Maka
diadakan pembagian dua kali. Pertama diperkirakan laki-laki dan kedua diperkirakan perempuan. Kemudian hasilnya
dijumlah dan dibagi dua. Hasil pembagian itulah yang menjadi hak waris khuntsa.
Menurut Ibnu Mundzir, bahwa penetapan kewarisan orang banci
menurut cara / jalan kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijmak
para fuqaha dan juga faradliyun. Hal ini sebagaimana pendapat Ali R.A yang
dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Muhadzzab:
عن علي كرم الله وجهه أنه قال : يورث الخنثى من حيث يبول
"Diriwayatkan dari Ali bahwa ia berkata: kewarisan
Khuntsa berdasarkan bagaimana ia kencing"
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan Anak Zina
Dari pemaparan singkat di atas, kiranya
dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni mengenai nasab dari anak hasil
perbuatan zina tersebut yang ia dinasabkan langsung kepada ibunya jika si
wanita yang melakukan zina tersebut tidak memiliki suami atau dalam masa ‘iddah,
sedangkan jika wanita tersebut memiliki suami atau dalam masa ‘iddah maka
secara otomatis anak tersebut menjadi nasab dari suami ibunya.
Kesimpulan Bayi Dalam Kandungan
Anak dalam
kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya dengan syarat:
-
Sudah
berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang mewariskan)
meninggal
-
Dilahirkan
dalam keadaan hidup dan bisa menetek atau bisa dipastikan dia hidup sempurna.
Orang Mafqud
(Orang Hilang)
Mafqud
adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak
diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan
apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Orang yang hilang dari negerinya dalam
waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih
hidup atau sudah`wafat.
Banci (Khuntsa)
Khuntsa
menurut kamus Al Munawir berasal dari kata خنٍث – خنثاًً yang berarti lemah,
lunak, atau bertingkah laku seperti perempuan.
Khuntsa
menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang
yang baginya alat kelamin lelaki (dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita
(farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya” Bahwa dalam
Islam dikenal ada 2 jenis khuntsa, yaitu Khuntsa Al-Musykil dan Khuntsa Ghairu
Musykil.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Manan,Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,
Jakarta, 2008, hlm. 80
Karani, Pasnelyza. 2010. Tesis
dengan judul “Status Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI)”. Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan di Universitas Diponegoro.Semarang : Undip Press.
Ash-Shabuni, Ali, Muhammad. 2009. Hak
Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam, Dan Tertimbun .Http:// www.
wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.
Manaf, Abdul. 2009. Yurisdiksi Peradilan Agama dalam Kewarisan Mafqud. Http:// www. wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.
Imam
Nawawi, Al Muhadzzab, juz 2 hal 414 (Maktabah Syamilah)
Jakarta, 2008, hlm. 80
2 Karani,
Pasnelyza. 2010. Tesis dengan judul “Status Hak Waris Anak Luar Kawin
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Diajukan sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro.Semarang :
Undip Press.
[3] Ash-Shabuni, Ali, Muhammad. 2009. Hak
Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam, Dan Tertimbun .Http:// www.
wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.
[4] Manaf, Abdul. 2009. Yurisdiksi
Peradilan Agama dalam Kewarisan Mafqud. Http:// www. wikipedia.com. Diakses
tanggal 1 Maret 2009.
No comments:
Post a Comment