BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada abad ke-13 di Eropa sudah timbul sistem filsafat yang boleh disebut
merupakan keseluruhan. Sistem ini diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan
tinggi. Dalam abab ke-14 timbulah aliran yang dapat dinamai pendahuluan filsafat
modern. Yang menjadi dasar aliran baru ini ialah kesadaran atas yang individual
yang kongkrit.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era
filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20,
munculnya berbagai aliran pemikiran, salah satunya ialah Pemikiran Rasionalisme.
Rasionalime kelompok aliran berpikir di dalam bagian
filsafat ilmu. Aliran
ini dianggap melahirkan ilmu pengetahuan bagi manusia (Sumarna, 2004). Sumber pengetahuan tersebut adalah
bagian filsafat yang spesifik merupakan cabang epistemologi atau teori
pengetahuan. Cabang filsafat epistemologi menelaah mengenai cara, proses serta
metodologi pengetahuan atau suatu ilmu dibangun. Pengetahuan yang diperoleh
tersebut diterima oleh akal dan panca indra manusia dengan berbagai metode.
Beragamnya metode akibat beragamnya cara pikir maupun olah pikir kemudian mampu
menciptakan berbagai metode pikir baru.
Berdasarkan hal
tersebut, melalui makalah ini penulis mencoba mengulas serta menjelaskan mengenai Pemikiran Menurut rasionalisme.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa arti rasionalisme ?
2.
Siapa tokoh-tokoh rasionalisme ?
3.
Bagaimana corak berfikir tokoh-tokoh filsafat ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa arti
rasionalisme ?
2.
Untuk
mengetahui Siapa saja tokoh-tokoh rasionalisme ?
3.
Agar memahami bagaimana corak berfikir tokoh-tokoh
filsafat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengetahuan dan Rasionalisme
Pengetahuan adalah informasi atau
maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dalam pengertian lain,
pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui
pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya
untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakanyang baru
dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan
tersebut.
Pengetahuan
adalah informasi yang
telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas
melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan
prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala
informasi dan data sekadar
berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka
pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut
potensi untuk menindaki.
Sedangkan
Rasionalisme Secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata
dalam bahasa latin ratio yang berarti
“akal”. Menurut A.R. lacey berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah :
sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan
dan pembenaran. Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran
yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber
kebenaran hakiki.
Sementar
itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang
pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. ia
menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului dan
bebas dari pengamatan indrawi. Hanya pengetahaun yang diperoleh melalui akal
yang memenuhi semua syarat pengetahuan ilmiah alat terpenting dalam memperoleh
pengatahun dan mengetes pengetahuan. “Pengalaman hanya dipakai untuk
mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal”.[1]
Jadi dapat
disimpulkan bahwa Pengetahuan
rasionalisme adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi. Rasionalisme
lebih menekankan pengetahuan yang bersifat apriori; tidak menekankan pada pengalaman.
Misalnya pengetahuan tentang matematika. Dalam matematika, hasil 1 + 1 = 2 bukan didapatkan melalui pengalaman atau
pengamatan empiris, melainkan melalui sebuah pemikiran logis akal budi.
B.
Sejarah Pemikiran Rasionalisme
Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali, pada zaman Thales (624-546 SM) telah menerapkan
rasionalisme pada filsafatnya. Pada filsafat modern, tokoh pertama rasionalisme
adalah Descarts, (1596-1650), kemudian dilanjutkan oleh beberapa tokoh lain,
yaitu Baruch De Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716) dan Blaise Pascal
(1632-1662). Setelah periode ini, rasionalisme dikembangkan secara sempurna
oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.
Rasionalisme
lahir adalah sebagai reaksi terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan
Kristen di Barat. Munculnya rasionalisme ini menandai perubahan dalam sejarah
filsafat, karena aliran yang dibawa Descartes ini adalah cikal bakal Zaman
Modern dalam sejarah perkembangan filsafat. Kata “modern” disini hanya
digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat
berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada Abad Pertengahan Kristen.
Corak berbeda yang dimaksud disini adalah dianutnya kembali rasionalisme
seperti pada masa Yunani Kuno. Gagasan itu disertai argumen yang kuat oleh
Descartes. Oleh karena itu, pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak
renaissance, yaitu kebangkitan rasionalisme seperti pada masa Yunani terulang
kembali. Pengaruh keimanan Kristen yang begitu kuat pada Abad Pertengahan,
telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan
tokoh Gereja. Descartes telah lama merasa tidak puas dengan perkembangan
filsafat yang sangat lamban dan memakan banyak korban. Ia melihat tokoh-tokoh
Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu.
Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen. Ia ingin filsafat
dikembalikan pada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada
akal.[2]
Zaman
Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke
XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yang eksklusif daya akal budi (rasio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata,
penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang
terpelajar makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang
hidup dan dunia.[3]
C.
Kelebihan dan Kekurangan Rasionalisme
Kelebihan
Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang
rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik
untuk menggeluti masalah–masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan
dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua
manusia, mampu menyusun sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.[4]
Sedangkan
kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas
sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai
permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan
sistem-sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrin-doktrin filsafat rasio
cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya
berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan
objek – objek rasional secara peka.[5]
D.
Tokoh-Tokoh yang Menganut Paham
Rasionalisme.
1. Plato
(427-347 Sebelum Masehi)
Cara
pikir rasionalisme telah muncul di dalam
pemikiran-pemikiran plato. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati
adalah apa yang disebut sebagai efisteme, yaitu pengetahuan tunggal dan tak
berubah, sesuai dengan ide-ide abadi. Hal-hal yang diketahui melalui panca
indra merupakan tiruan yang tidak utuh.
Hanya ide-ide saja yang bersifat nyata dan sempurna yang ditangkap oleh
daya pikir manusia. Maka pengetahuan bagi plato adalah hasil ingatan yang
melekat pada manusia. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan terpendam dalam benak
manusia. Dengan demikian, Plato berpendapat untuk mengetahui sesuatu dan menyelidiki
sesuatu hingga mencapai pengetahuan yakni bertumpu pada akal budi yang
bersumber ide-ide abadi.[6]
2. Rene
Descartes (1596-1650)
Descartes
menganggap keraguan terhadap segala sesuatu diperlukan guna memperoleh suatu
keyakinan dan pengetahuan. Bagi Descartes, inilah metode filsafat yang paling
tepat. Descartes beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan
terhadap dasar bagi pengetahuan, kepastian dan keyakinan yang bersumber pada
ide yang jelas dan tepat. Sebenarnya, metode Descartes sangat sederhana yakni
meragukan segala sesuatu terhadap perolehan panca indra hingga keraguan
tersebut berakhir. Semua yang diragukan disingkirkan dan terus menerus hingga
mampu mengetahui sesuatu secara pasti tanpa bisa diragukan berdasar pada
pemikiran, pendapat maupun pengalaman yang ada.[7]
3. Baruch Spinoza (1630-1677)
Spinoza dianggap
sebagai orang yang tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan
oleh penganut rasionalisme. sistem filsafat yang disusun menyerupai sistem ilmu ukur (geometri). Spinoza mengatakan bahwa
dalil-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan
lagi. Spinoza meyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh
kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur, maka akan memahami makna yang terkandung
dalam pernyataan. Seperti pada salah satu pernyataan “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”,
maka kita harus mengakui kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran yang menjadi
aksioma. Contoh ilmu ukur (geometri) yang dikemukakan
oleh Spinoza di atas adalah salah satu contoh favorit kaum rasionalis.[8]
4.
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)
Leibniz mengungkapkan bahwa pengetahuan
alam semesta telah ada dalam diri manusia sebagai bawahan. Pengalaman indrawi
merupakan hasil eksploitasi akal (pikiran)
yang kemudian melahirkan pengetahuan di luar dirinya. Leibniz menegaskan bahwa
pengalaman sendiri bukanlah sumber pengetahuan melainkan pengetahuan tingkat
pertama. Sumber pengetahuan adalah akal atau pikiran. Filsuf Jerman ini beranggapan bahwa
kebenaran terbagi atas dua bagian, yakni kebenaran yang nyata berdasarkan
pengalaman dan kebenaran yang berdasarkan akal manusia. Ajarannya terkenal
dengan istilah monade-monade yang merupakan pusat-pusat gaya yang tidak
mempunyai luas dan tidak bersifat kebendaan seperti roh atau jiwa manusia (Salam,
1984).[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari apa yang telah kami uraikan diatas maka kami dapat menyimpulkan
sebagai beriku:
- Rasionalisme adalah paham yang mengangap bahwa pikiran dan akal merupakan dasar satu-satunya untuk memecahkan kebenaran lepas dari jangkauan indra
- Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman-pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah–masalah filosofi.
- Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam.
- Plato, descartes, spinoza dan Leibniz mereka adalah tokoh besar dalam filsafat rasionalisme.
B.
Saran
penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih belum sempurna. Penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, untuk kesempurnaan makalah ini, dengan meningkatkan wawasan dan
pengetahuan kita tentang filsafat umum khususnya rasionalisme (Plato, descarte,
spinoza dan Leibniz).
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat, Aceng, dkk.
2011. Filsafat Ilmu lanjutan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Salam, Burhanuddin. 1984. Pengantar Filsafat. Bandung: Bumi
Aksara.
Shidarta. 1999. Dasar-dasar Filsafat: Pengantar Mempelajari
Filsafat Hukum. Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Sufardi, 2013. Klasifikasi Filsafat (Classification of Philosophy): Kuliah-IB.
Banda Aceh: Unsyiah.
Sumarna, Cecep. 2004. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
http://www.rangkumanmakalah.com/rasionalisme/
No comments:
Post a Comment